Dia merangkak sendiri di bawah hujan deras, sekujur badan penuh darah, badannya lusuh tak berdaya. Air mata sedihnya tersembunyi di balik tetesan deras air hujan. Suara erangannya tersamar bunyi gelegar halilintar, sinar kesedihannya tertutup cahaya kilat. Di titik akhir hidup semua keindahan-keindahan fana dunia tergambar jelas di matanya.
Saat dia mendapat seorang anak kecil yang mungil dari istrinya yang cantik. Saat pertama kali ia melihat anaknya memanggilnya ayah dan berjalan untuk pertama kalinya di bumi. Saat ibunya menangis melihatnya di televisi membawakan acara berita perdana. Saat ayahnya mengajarinya naik sepeda.
Ada satu masa yang tidak bisa digambarkan secara gamblang, yaitu suatu saat ia bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis yang menurutnya cantik rupawan. Saat itu adalah masa ketika kepalanya dipenuhi serbuan-serbuan isme-isme yang menyesakkan, baginya maupun bagi orang yang mendengarnya. Teman diskusinya pernah suatu waktu mengatakan padanya “tidak ada itu cinta pada pandangan pertama, ilmu psikologi pun menolaknya, sulit dibuktikan secara ilmiah”. Temannya yang berjanggut lebat itu pun mengatakan maksud yang sama dengan latar belakang yang berbeda “kamu harus hati-hati, cinta pada pandangan pertama itu lebih cenderung mistis dan takhayul, tidak jelas arahnya, kamu tidak mau kan nantinya terjerumus pada praktek pemujaan”. Temannya yang memakai baret mengatakan “Gak ada unsur perjuangannya yang namanya cinta pada pandangan pertama itu, walaupun ada pasti ada unsur-unsur politis yang melatarbelakanginya, kamu harus hati-hati, tidak ada yang murni, sama sekali tidak ada, penuh intrik dan konspirasi”. Malah seorang tukang becak berkata padanya “Cuma ada satu jenis cinta pada pandangan pertama, ketika ada seorang ibu yang memanggilku untuk mengantarkannya ke pasar, yang seperti itu tak ada pamrih kalau ngasih upah, biasanya juga yang namanya cinta pada pandangan pertama suka kasih uang dan ia gak minta kembaliannya”. Seorang temannya yang lain yang beretnis cina pernah berkata “lu beli baju balu, lu suka, lu pake, cocok dan keliatan bagus, yang gitu yang namanya cinta pada pandangan peltama, makanya lu musti liat-liat baju oe’ punya”.
Tapi dia mengalaminya sekali waktu itu. Hari-hari itu begitu indah. Hujan air ibarat hujan bunga. Uang seribu rupiah nampak satu juta rupiah. Kemana mata memandang muka orang semuanya nampak tersenyum padanya. Dua jam terjebak dalam kemacetan dalam bis kota sambil berdiri bertopang pada pegangan dalam bis tak dirasanya.
Hari berlalu, rasa itu masih ada. Ia berpikir mungkin ini saatnya untuk menunjukan rasa sebenarnya yang telah terpendam lama.
Pagi itu dalam kamar mandi yang telah terisi bak mandinya terdengar lantunan melodi cinta diiringi musik percikan air, suara gayung yang terbentur pinggiran bak mandi juga terdengar mengiringi lagu cintanya bak perkusi. Kemeja putih garis-garis kecil biru telah tergantung rapi siap dipakai. Dipadukan dengan celana panjang pantalon hitamnya yang dibalut sabuk abu-abu. Parfum yang dipakainya membuat lima ekor kucing, seekor anjing kampung, ratusan nyamuk, puluhan ekor lalat yang mengerubungi bangkai tikus, dan sebelas ekor cicak semaput menghirup bau parfumnya. Puluhan ekor kutu bergerutu sambil meninggalkan kepalanya, minyak rambut yang dipakainya terlalu banyak selain berbau sangat tidak enak juga membuat kota kutu menjadi licin dan tidak mungkin untuk diloncati. Mereka akhirnya pergi ke tempat lain yang berambut juga walaupun tidak setebal rambut di kepala.
Ia akhirnya berangkat dengan penuh semangat dan dipenuhi teriakan, cacian, makian, umpatan, dan doa-doa makhluk yang dizalimi dari kucing, anjing, lalat, cicak, dan kutu rambut.
Ia dekati perempuan itu dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ia sapa perempuan itu dengan lembut. Tak disangka perempuan itu tersentak kaget luar biasa. Perempuan itu meminta maaf karena sebelumnya telah menonton film horor dan perasaan horornya itu masih terbawa keluar. Keakraban akhirnya terjalin secara instan, atau mungkin super instan.
Waktu berlalu sangat cepat, ia keluar dari ruangan itu dengan langkah gontai seperti dewa mabok. Raut mukanya turun, matanya berkedip-kedip perlahan. Dia duduk dipinggir sahabatnya seorang tukang becak. Kedua tangannya menutup muka, dia usap-usap kepalanya sendiri. Temannya si Tukang Becak bertanya “Ada apa?” Dia menimpali dengan muka lusuhnya, “mang becak! Dia Cuma bilang begini, “kamu siapa?” terus dia bilang “kenalin pacar saya yang baru, kami baru jadian tadi malam!”
Saat dia mendapat seorang anak kecil yang mungil dari istrinya yang cantik. Saat pertama kali ia melihat anaknya memanggilnya ayah dan berjalan untuk pertama kalinya di bumi. Saat ibunya menangis melihatnya di televisi membawakan acara berita perdana. Saat ayahnya mengajarinya naik sepeda.
Ada satu masa yang tidak bisa digambarkan secara gamblang, yaitu suatu saat ia bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis yang menurutnya cantik rupawan. Saat itu adalah masa ketika kepalanya dipenuhi serbuan-serbuan isme-isme yang menyesakkan, baginya maupun bagi orang yang mendengarnya. Teman diskusinya pernah suatu waktu mengatakan padanya “tidak ada itu cinta pada pandangan pertama, ilmu psikologi pun menolaknya, sulit dibuktikan secara ilmiah”. Temannya yang berjanggut lebat itu pun mengatakan maksud yang sama dengan latar belakang yang berbeda “kamu harus hati-hati, cinta pada pandangan pertama itu lebih cenderung mistis dan takhayul, tidak jelas arahnya, kamu tidak mau kan nantinya terjerumus pada praktek pemujaan”. Temannya yang memakai baret mengatakan “Gak ada unsur perjuangannya yang namanya cinta pada pandangan pertama itu, walaupun ada pasti ada unsur-unsur politis yang melatarbelakanginya, kamu harus hati-hati, tidak ada yang murni, sama sekali tidak ada, penuh intrik dan konspirasi”. Malah seorang tukang becak berkata padanya “Cuma ada satu jenis cinta pada pandangan pertama, ketika ada seorang ibu yang memanggilku untuk mengantarkannya ke pasar, yang seperti itu tak ada pamrih kalau ngasih upah, biasanya juga yang namanya cinta pada pandangan pertama suka kasih uang dan ia gak minta kembaliannya”. Seorang temannya yang lain yang beretnis cina pernah berkata “lu beli baju balu, lu suka, lu pake, cocok dan keliatan bagus, yang gitu yang namanya cinta pada pandangan peltama, makanya lu musti liat-liat baju oe’ punya”.
Tapi dia mengalaminya sekali waktu itu. Hari-hari itu begitu indah. Hujan air ibarat hujan bunga. Uang seribu rupiah nampak satu juta rupiah. Kemana mata memandang muka orang semuanya nampak tersenyum padanya. Dua jam terjebak dalam kemacetan dalam bis kota sambil berdiri bertopang pada pegangan dalam bis tak dirasanya.
Hari berlalu, rasa itu masih ada. Ia berpikir mungkin ini saatnya untuk menunjukan rasa sebenarnya yang telah terpendam lama.
Pagi itu dalam kamar mandi yang telah terisi bak mandinya terdengar lantunan melodi cinta diiringi musik percikan air, suara gayung yang terbentur pinggiran bak mandi juga terdengar mengiringi lagu cintanya bak perkusi. Kemeja putih garis-garis kecil biru telah tergantung rapi siap dipakai. Dipadukan dengan celana panjang pantalon hitamnya yang dibalut sabuk abu-abu. Parfum yang dipakainya membuat lima ekor kucing, seekor anjing kampung, ratusan nyamuk, puluhan ekor lalat yang mengerubungi bangkai tikus, dan sebelas ekor cicak semaput menghirup bau parfumnya. Puluhan ekor kutu bergerutu sambil meninggalkan kepalanya, minyak rambut yang dipakainya terlalu banyak selain berbau sangat tidak enak juga membuat kota kutu menjadi licin dan tidak mungkin untuk diloncati. Mereka akhirnya pergi ke tempat lain yang berambut juga walaupun tidak setebal rambut di kepala.
Ia akhirnya berangkat dengan penuh semangat dan dipenuhi teriakan, cacian, makian, umpatan, dan doa-doa makhluk yang dizalimi dari kucing, anjing, lalat, cicak, dan kutu rambut.
Ia dekati perempuan itu dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ia sapa perempuan itu dengan lembut. Tak disangka perempuan itu tersentak kaget luar biasa. Perempuan itu meminta maaf karena sebelumnya telah menonton film horor dan perasaan horornya itu masih terbawa keluar. Keakraban akhirnya terjalin secara instan, atau mungkin super instan.
……………….
Waktu berlalu sangat cepat, ia keluar dari ruangan itu dengan langkah gontai seperti dewa mabok. Raut mukanya turun, matanya berkedip-kedip perlahan. Dia duduk dipinggir sahabatnya seorang tukang becak. Kedua tangannya menutup muka, dia usap-usap kepalanya sendiri. Temannya si Tukang Becak bertanya “Ada apa?” Dia menimpali dengan muka lusuhnya, “mang becak! Dia Cuma bilang begini, “kamu siapa?” terus dia bilang “kenalin pacar saya yang baru, kami baru jadian tadi malam!”
No comments:
Post a Comment