Disebuah dunia tak berwarna dan sebiru seperti ini, seorang anak kecil hitam kurus melangkah keluar dari neraka panas demi berjalan menuju seseorang yang melangkah acuh di depan pintu kesengsaraan, bertanya padanya, “Paman! Kenapa aku harus berada di neraka sengsara sedangkan aku ini hanya anak kecil yang tak bersalah, tak berdosa? Disaat aku harus belajar memahami hidup, kenapa aku harus berada di sini?
Lelaki itu berbaju hitam dengan celana panjang putih berdasi lambang-lambang kebanggaan dan berkopiahkan kemunafikan serta bersepatu martabat tetapi denegan sol dipenuhi tahi dan lumpur, penuh ditancapi paku berkaratkan kebobrokan memayungi utopia.
Aku pernah beberapa kali – dengan penuh perjuangan – mengintipnya sedang membuka pakaian-pakaiannya, kulihat celana dalamnya yang telah berwarna kusam, berlubang di sana-sini. Kaus dalamnya dilengkapi dengan sobekan dan berwarna coklat, baunya tercium sampai luar ditebar penulis-penulis seperti aku. Saat ia membuka semua baju dalamnya kulihat ulat-ulat kebusukan, belatung kelicikan melekat di kulitnya, bau busuk semakin pekat tercium.
Tahukah apa yang dia jawab, “nak! Duniamu itu neraka, dan aku di surga. Duniaku punyaku dan nerakamu itu duniamu, sebaiknya kamu masuk, aku takut kamu akan terkena penyakit sepertiku. Duniamu itu suci penuh kejujuran. Jangan sampai kamu terpercik oleh penyakit kemunafikan ini yang berepidedemi di duniaku, uruslah hidupmu di duniamu untuk kehidupan di dunia lainmu!”
Mendengar ucapan itu sang anak berlari masuk seraya tersenyum bahagia. Anak itu berhenti berdiri di deepan pintu masuk, berbalik dan berteriak pada lelaki itu, “masuklah! Hidup denganku penuh kejujuran”. Lelaki itu berkata “tidak! Aku masih punya urusan-urusan kebusukan lain”. Anak itu menimpali,”uruslah duniamu!” sambil kemudian berlari kencang menyongsong surga baginya.
Lelaki itu berbaju hitam dengan celana panjang putih berdasi lambang-lambang kebanggaan dan berkopiahkan kemunafikan serta bersepatu martabat tetapi denegan sol dipenuhi tahi dan lumpur, penuh ditancapi paku berkaratkan kebobrokan memayungi utopia.
Aku pernah beberapa kali – dengan penuh perjuangan – mengintipnya sedang membuka pakaian-pakaiannya, kulihat celana dalamnya yang telah berwarna kusam, berlubang di sana-sini. Kaus dalamnya dilengkapi dengan sobekan dan berwarna coklat, baunya tercium sampai luar ditebar penulis-penulis seperti aku. Saat ia membuka semua baju dalamnya kulihat ulat-ulat kebusukan, belatung kelicikan melekat di kulitnya, bau busuk semakin pekat tercium.
Tahukah apa yang dia jawab, “nak! Duniamu itu neraka, dan aku di surga. Duniaku punyaku dan nerakamu itu duniamu, sebaiknya kamu masuk, aku takut kamu akan terkena penyakit sepertiku. Duniamu itu suci penuh kejujuran. Jangan sampai kamu terpercik oleh penyakit kemunafikan ini yang berepidedemi di duniaku, uruslah hidupmu di duniamu untuk kehidupan di dunia lainmu!”
Mendengar ucapan itu sang anak berlari masuk seraya tersenyum bahagia. Anak itu berhenti berdiri di deepan pintu masuk, berbalik dan berteriak pada lelaki itu, “masuklah! Hidup denganku penuh kejujuran”. Lelaki itu berkata “tidak! Aku masih punya urusan-urusan kebusukan lain”. Anak itu menimpali,”uruslah duniamu!” sambil kemudian berlari kencang menyongsong surga baginya.
No comments:
Post a Comment